1.29.2007

Fiqih Kedokteran

Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan meletakkan di dalamnya berbagai macam rahasia yang berupa makhluk, hukum-hukum, sifat-sifat, kekhususan-kekhususan, dan berbagai macam warna-warni lainnya. Allah juga telah menciptakan manusia, lalu diberi alat untuk menyerap pengetahuan dan menyingkap kebodohan, yaitu berupa akal.

Kemudian dilengkapi dengan panca indera dan anggota badan sebagai pasukan untuk menjalankan apa yang dipikirkan oleh akal. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan sesuatu kecuali menjadikan baginya berbagai macam sarana yang multi fungsi, dimana di satu sisi dapat digunakan untuk kebaikan dan di sisi lain dapat digunakan untuk kejahatan.

Untuk itu, Allah menyeru manusia agar dia menggunakan sarana itu untuk kemaslahatan dan kebahagiaan dirinya serta menjauhkannya dari segala sesuatu yang dapat menghancurkan dan membinasakannya. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah untuk meluruskan kehidupan manusia, oleh karena itu Islam berperan pula dalam mengatur segala sesuatu yang ditemukan oleh manusia, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum, cara-cara mengambil manfaat darinya, maupun cara-cara berinteraksi dengannya.

Pada zaman sekarang, pengetahuan dan penemuan manusia telah menyebar luas di segala bidang, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, dan tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan rahasia alam dan hukum-hukumnya ini sangatlah penting, karena dengan penemuan-penemuan itu akan semakin terbentang luas di hadapan manusia berbagai macam alternatif dan pilihan-pilihan yang sesuai dengan kehendaknya.

Tetapi kebahagiaan manusia tidak dapat diukur hanya dengan kualitas pengetahuan dan banyaknya ilmu yang diperolehnya saja, melainkan untuk apa ilmu pengetahuan itu digunakan dan membuahkan apa ilmu pengetahuan itu bagi kehidupan manusia.

Salah satu bidang ilmu yang sangat berbahaya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan eksperimentasi manusia adalah bidang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan jiwa dan raga manusia, karena manusia telah dijadikan Allah sebagai pemeran peradaban di muka bumi.

Bidang kedokteran adalah salah satu bidang penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembahasan ilmiah secara mendasar. Problematika kedokteran kian kompleks apalagi jika dihadapkan dengan hukum Islam, sehingga harus dipertimbangkan matang-matang sebelum memutuskan bolah tidaknya melakukan suatu tindakan medis.

Operasi selaput dara, transplantasi anggota tubuh, pemanfaatan janin, dan aborsi adalah sebagian dari yang dibahas dalam buku ini. Semuanya ditinjau dari segi fikih Islam, dengan mempertimbangkan manfaat dan mudharat, serta maslahat (sisi positif) dan mafsadat (sisi negatif)nya. Bagaimanakah hukum Islam dalam masalah-masalah ini ?

PERTAMA ; Batasan awal dan akhir kehidupan manusia dalam perspektif syariat dan ijtihad para ulama

Batasan dari awal kehidupan manusia yang dibahas disini adalah tentang awal permulaan kehidupan yang telah memiliki sifat kemanusiaan, kapan itu bermula? Berpijak dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a:
Abdullah bin Mas’ud r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua terbentuklah segumpal darah beku.

Manakala genap empat puluh hari ketiga berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudia Allah SWT mengutus malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkan supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rezrki, waktu kematian, amalnya, dan nasib baiknya atau nasib buruknya.”

Faedah yang dapat kita ambil berkaitan dengan bahasan tentang awal kehidupan manusia adalah penetapan waktu yang disebutkan dalam hadits tersebut untuk dua hal yaitu penetapan takdir manusia yang diciptakan dan peniupan roh di dalamnya, ditetapkan setelah janin berusia seratus dua puluh hari. Penetapan waktu seperti ini menunjukkan bahwa sifat-sifat kemanusiaan tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk yang diciptakan di dalam perut seorang ibu sebelum memasuki usia tersebut. Penafsiran terhadap hadits Ibnu Mas’ud di atas, diperkuat oleh beberapa dalil dan data lainnya.

Sedangkan, memberikan batasan kapan kehidupan seorang manusia berakhir di dunia dengan batasan yang tegas dari segi syariat, lebih sulit daripada pembahasan untuk mengetahui waktu permulaan kehidupan. Hal ini terjadi karena tidak ada nash yang jelas, baik dari Al Quran maupun hadits yang dapat dijadikan sebagai titik tolak pembahasan.

KEDUA ; Hakikat janin dan hukum memanfaatkannya untuk pencangkokan dan eksperimentasi ilmiah

Makna janin secara bahasa adalah anak yang ada di dalam perut, jamaknya adalah ajinnah dan ajnan, yang diambil dari kata janna yang artinya menutupi diri. Dimanakan janin, ia ditutupi oleh perut ibunya. Janin manusia adalah makhluk yang tercipta di dalam rahim seorang wanita dari hasil pertemuan antara sel telur dengan sperma yang bersal dari air mani seorang lelaki.

Para ahli fikih menggunakan istilah janin seperti yang digunakan dalam bahasa di atas, hanya saja sebagian dari mereka membatasinya pada kehamilan yang dikandung oleh manusia.
Jika janin itu telah melewati usia seratus dua puluh hari sejak terbentuknya dan telah ditiupkan roh kepadanya dan roh itu tidak hilang darinya, maka janin itu adalah seorang manusia yang hidup, sehingga mengambil salah satu anggota badannya atau sel-selnya yang menyebabkan kematiannya, berarti membunuhnya. Hal ini tidak halal menurut syariat Allah untuk menganiayanya dalam bentuk apapun.

Adapun memanfaatkan janin yang belum ditiupkan roh di dalamnya dengan mengambil bagian darinya atau menjadikannya sebagai obyek penelitian, tidak dianggap sebagai pembunuhan manusia, tetapi untuk menghukuminya ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan. Apabila keadaan janin itu hidup di dalam perut ibunya, maka memanfaatkannya berarti mengharuskannya untuk digugurkan, dan hukum yang paling kuat untuk pengguguran kandungan sebelum peniupan roh adalah haram walaupum pengharamannya tidaklah mutlak.

Apabila janin yang hidup berada di luar rahim ibunya dan tidak ada halangan untuk menanamnya pada rahim tersebut, maka hukum merusak zigot tersebut atau membiarkannya hingga rusak adalah haram. Akan tetapi mungkin diperbolehkan dalam rangka untuk menghasilkan kemaslahatan yang lebih besar. Adapun hokum memanfaatkan janin yang mati, baik secara hokum maupun nyata, yang belum ditiupkan roh kepadanya tidak ada syariat yang melarang dan tidak ada syarat untuk melakukannya kecuali diharapkan penelitian itu bermanfaat dan tidak sia-sia.

KETIGA ; Hukum donor anggota badan dalam perspektif kaidah syariat dan ilmu kedokteran

Hampir tidak ada satu pembahas pun di dalam teks-teks fikih klasik yang meninggalkan tulisan yang membahas langsung tentang hukum mendonorkan anggota badan manusia untuk tujuan dicangkokkan ke dalam tubuh manusia. Para fuqaha klasik menyelesaikan masalah perlakuan terhadap anggota badan manusia dengan sangat hati-hai, dimana mereka meletakkan bahwa hukum dasar dalam masalah itu adalah dilarang dan mereka mempersempit pengecualian yang mungkin bisa membolehkannya. Makna yang ada di balik kehati-hatian mereka, yang selalu dijaga oleh para fuqaha di dalam ijtihad mereka dalam masalah ini adalah kehormatan yang telah ditetapkan oleh Islam pada manusia.

Pendonoran anggota badan manusia tidak disyariatkan kecuali jika menjadi sebab yang kuat untuk menolak kerusakan yang lebih besar pada orang yang didonori, daripada kerusakan yang terjadi pada pendonor karena diambil anggota badannya. Berdasarkan kaidah syariat dan syarat-syarat pelaksanaan donor anggota badan, kita dapat menyimpulkan hukum-hukumnya secara rinci sebagai berikut :

  1. Mendonorkan anggota badan yang bisa pulih kembali, seperti darah, sumsum tulang dan kulit, diperbolehkan hukumnya dengan syarat tidak membahayakan.
  2. Mendinorkan anggota badan yang dapat menyebabkan kematian apabila diambil, hukumnya tidak boleh, karena sama dengan bunuh diri yang termasuk dosa besar.
  3. Pada dasarnya, tidak boleh mendonorkan anggota badan yang hanya satu-satunya, walaupun hilangnya anggota badan tidak menyebablkan kematian.
  4. Mendonorkan anggota badan yang ada pasangannya yang masih baik pada jasad hukumnya boleh
  5. Diharamkan mendonorkan alat-alat reproduksi manusia, karena hal ini bertentangan dengan tujuan syariat.
  6. Mengambil anggota badan mayat boleh hukumnya bila didasarkan atas wasiat dari mayat tersebut sebelum kematiannya.

KEEMPAT ; Hukum menggugurkan kandungan dalam perspektif fikih Islam

Pengertian mengugurkan kandungan dalam pembahasan ini dibatasi pada lahirnya janin karena dipaksakan oleh ibunya atau dipaksakan oleh orang lain atas permintaan dan kerelaannya. Hukum mengugurkan kandungan ini tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan, baik dalam Al-Quran maupun hadist. Yang ada dan dijelaskan dalam kitab Allah azza wa jalla adalah tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencela perbuatan itu dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang abadi di neraka Jahannam yaitu dalam Al-Quran surat An Nisa: 93.

Para fuqaha sepakat atas haramnya penguguran janin setelah janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya. Karena pada usia itu telah ditiupkan roh kepadanya yang berarti sudah mamiliki sifat-sifat kemanusiaan dan mengugurkannya tanpa sebab yang syari berarti membunuh manusia.

Sedangkan menggugurkan janin sebelum berusia empat bulan atau belum ditiupkan roh kepadanya beberapa madzhab fikih masih memperselisihkannya, bahkan terdapat perbedaan pendapat antar ulama dalam satu madzhab. Namun semua ulama sepakat bahwa pengguguran kandungan sebelum umur janin empat bulan penuh, hakikat dan hukumnya secara mendetil masih diperselisihkan.

Untuk itu mereka sepakat tidak menganggapnya sebagai pembunuhan manusia dan dosa pembunuhan jika ada alasan yang rasional, yang tidak dipertentangkan oleh madzhab-madzhab fikih yang berbeda-beda.

KELIMA ; Operasi selaput dara dalam perspektif syariat

Keperawanan adalah selaput tipis yang ada di dalam kemaluan wanita. Keperawanan sama seperti anggota tubuh lainnya, bisa tertimpa kerusakan, baik secara keseluruhan atau sebagian darinya, dikarenakan oleh kecelakaan yang disengaja ataupun tidak disengaja, atau karena perbuatan manusia, dan perbuatan itu sendiri bisa jadi merupakan maksiat atau bukan maksiat. Beberapa adat istiadat dan kebiasaan sosial telah memberikan perhatian yang besar terhadap masalah keperawanan ini dan sobeknya selaput dara sebelum nikah menjadi tanda atas rusaknya wanita tersebut sehingga menimbulkan reaksi dari para suami, keluarga si gadis dan masyarakat.

Operasi selaput dara atau pengembalian keperawanan adalah memperbaiki dan mengembalikannya pada tempat semula atau pada tempat yang dekat dengannya. Pembahasan topik ini berkisar seputar hukum pekerjaan mengembalikan keperawanan ini bagi dokter yang mengerjakannya. Masalah ini adalah masalah baru yang tidak disebutkan dalam nash syariat sehingga penetapan hukumnya dapat diambil ijtihad dengan melihat asa syariat, tujuan, kaidah secara umum dan manfaat serta mudharat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut.

Berdasarkan adanya kemaslahatan dan mudharat yang timbul dari pengembalian selaput dara seorang wanita dan dilihat dari penyebab sobeknya maka dapat diambil kesimpulan beberapa hukumnya, yaitu :

  1. Jika sobeknya selaput dara itu karena kecelakaan atau perbuatan yang bukan maksiat secara syariat dan bukan hubungan seksual dalam pernikahah maka untuk menghilangkan mudharat yang lebih besar yang diterima oleh si gadis maka operasi tersebut wajib dilakukan, tapi jika kemudharatannya lebih kecil maka hukumnya menjadi sunnah.
  2. Jika penyebabnya adalah hubungan seksual dalam pernikahan maka operasi ntersebut diharamkan atas janda atau wanita yang dicerai, karena tidak ada kepentingan di dalamnya.
  3. Jika penyebabnya adalah zina yang diketahui masyarakat maka pengembalian selaput dara dalam hal ini juga diharamkan karena tidak ada kemaslahatannya sama sekali dan tidak lepas dari mudharatnya.
  4. Jika penyebabnya adalah zina yang tidak diketahui oleh masyarakat, dokter bisa memilih untuk melakukan operasi atau tidak; dan melakukannya lebih baik jika memungkinkan.

Jika seorang dokter bisa mengetahui penyebab tersebut maka dia dapat melakukan tugasnya sesuai hukum di atas. Tapi kebanyakan dokter tidak dapat mengetahuinya dan dia tidak punya kuasa seperti halnya hakim untuk menyelidiki dan mencari bukti-bukti tentang penyebabnya, sehingga dia tidak dibebani dengan apa yang ia tidak mampu melaksanakannya.

Seorang dokter sebelum melakukan operasi ini lebih baik berusaha mencari tatu dulu penyebabnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tapi bila tidak berhasil dia tidak boleh berprasangka dan berusaha membawanya pada suatu kebaikan.

Demikianlah, buku ini memberikan gambaran hukum fikih dalam bidang ilmu kedokteran tentang hal-hal yang merupakan temuan baru dari para ilmuwan agar kita sabagai umat Islam dapat memanfaatkan untuk kemaslahatan. Walllahu a’lam.

Judul : Fikih Kedokteran
Pengarang : Dr. M. Nu’aim Yasin
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Tahun terbit : 2001
Jumlah halaman : 275 halaman
Create your own banner at mybannermaker.com!